Gejala Vickynisasi
dan Para Pengkhotbah kita
Sumber: http://images.solopos.com/2013/09/vicky-jejaring.jpg
Melihat gejala vickynisasi[i]
yang sedang menjadi trending topic di
media massa saat ini, membuat saya merenung. Apakah gejala latah bersilat kata dengan
memperkosa kosakata supaya kelihatan pintar tapi bodoh ini selain dilakukan sebagian
besar politikus di Indonesia (sudah tradisi), juga dilakukan oleh para pemimpin
rohani?.
Ternyata ada.
Misalnya kata konsumerisme.
Dalam manajemen pemasaran istilah konsumerisme (consumerism) adalah gerakan sosial yang
dipopulerkan oleh aktivis sosial dari Harvard
Law School Ralph Nader (lahir 1934) untuk melindungi hak-hak konsumen.
Misalnya memastikan apakah konsumen mendapatkan produk yang sesuai dengan janji
iklan, mendapatkan kemasan yang sesuai, garansi dan jaminan produk serta
keamanan konsumen ketika menggunakan produk tersebut.
Dalam khotbah, istilah konsumerisme dipakai para pengkhotbah
untuk mengkritik perilaku berbelanja barang dan jasa lebih banyak daripada yang
dibutuhkan atau sebenarnya tidak dibutuhkan tapi tetap dibeli karena keserakahan
atau untuk menambah gengsi pemakainya.
Istilah yang dibuat sendiri ini membuat kening orang yang sudah terbiasa dengan pengertian sebelumnya berkerut.
Terus kata apa yang pas?
Konsumtif.
Kenapa para pengkhotbah ini tidak mau belajar pengetahuan
umum yang mendasar?
Nah, sekarang kita masuk ke topik
sebenarnya.
Para pengkhotbah sekarang harus sadar bahwa dengan
kemajuan teknologi komunikasi khususnya internet dan portable gadget, jemaat sudah tidak dibatasi lagi
untuk mengakses informasi. Apapun informasinya; kapanpun
waktunya dan dimanapun ia berada.
Di zaman facebook, twitter,
Path dan Instagram serta data technology ini, jemaat
sudah semakin pintar. Jemaat yang benar semakin sulit untuk ditipu (kecuali
jemaat yang dengan kehendak bebas memang memilih dan merelakan dirinya untuk disesatkan).
Jadi para pengkhotbah harus selalu waspada. Jika ia berkhotbah, bahan khotbah
tersebut harus meresap dan menyatu dulu dalam dirinya dan keluar secara alami. Sehingga
menjadi berkat bagi para pendengar.
Khotbah Charles Spurgeon[ii]
(yang menderita rematik selama hidupnya) begitu hidup karena ia selalu mengkaitkan
khotbahnya dengan realitas hidup sehari-hari. Sehingga setelah ia meninggal tanggal 31 Januari 1892, khotbahnya
terus hidup sampai sekarang.
Khotbah Pendeta Stephen Tong[iii]
(lahir 1940) begitu hidup karena selain teologi ia mengabungkannya dengan
filsafat, seni, teknologi (mobil dan arloji) dan budaya yang terkait dengan
hidup sehari-hari. Saya juga yakin jika Pak Tong dipanggil Tuhan, buku-bukunya yang
sebagian besar di-transkrip dari khotbah-khotbahnya akan tetap dibaca dan khotbah
audionya akan tetap didengarkan oleh orang yang sungguh ingin bertumbuh secara
rohani.
Ketika penginjil Billy Graham[iv]
mengkhotbahkan ulang “Sinners in the
hands of angry God”,[v]
beliau menyebutkan sumber khotbah adalah dari Pendeta Jonathan Edwards. Dan
khotbah tentang hari penghakiman (Keluaran 32:35) itu sangat berhasil mengajak
para pendengar untuk bertobat.
Tapi sayang sekali sudah beberapa belas kali saya
mendengar ilustrasi dan bahan khotbah Pak Tong dikhotbahkan lagi oleh para pengkhotbah
yang malas menggali Alkitab sendiri tapi sangat ironis tidak memperhatikan
etika dengan menyebutkan sumber khotbah tersebut. Sungguh contoh buruk yang memalukan.
Di mimbar yang sudah jelas-jelas dilihat ratusan atau ribuan orang sudah berani
tidak jujur bagaimana dalam kehidupan sehari-hari yang tidak terlihat oleh
jemaat?
Makanya tidak heran rating kepercayaan kepada para penginjil
dan pendeta semakin rendah di Amerika Serikat dan juga di Indonesia.
Pengkhotbah seperti ini akan membuat kekristenan dihina dan dipermalukan. Rating
kepercayaan ini semakin rusak dan rendah karena perilaku para pengkhotbah
kemakmuran yang tidak memiliki hati dan visi dari Tuhan tapi ingin mendapatkan
keuntungan dari pendengarnya. Ia lebih suka memberitakan hal yang sedang disukai
(menyenangkan telinga) sehingga mendapat jaminan dipanggil kembali untuk
berkhotbah.
Terus bagaimana?
Jemaat ingin pengkhotbah menyampaikan khotbah yang segar
dan asli yang bersumber dari Alkitab. Jemaat ingin khotbah yang sudah dihidupi
oleh pengkhotbah. Maka khotbah yang disampaikan itu akan benar-benar hidup dan memiliki
kuasa untuk merubah pola berpikir dan hati para pendengarnya. Memotivasi jemaat
untuk berpola pikir
benar, hidup kudus dan berkenan kepada Allah.
Jika khotbahnya berkualitas, penuh
urapan
dan benar secara teologis, para pengkhotbah tidak usah repot-repot lagi memikirkan
berkat (uang persembahan kasih / PK) datang dari mana, karena pasti jadwal
khotbahnya akan penuh. Ia akan menggunakan uang PK selain untuk memenuhi
kebutuhan diri yang minimum dan juga memberkati orang lain, tapi terutama
menggunakannya untuk membeli literatur yang sungguh-sungguh bermutu dan tekun
mempelajarinya dengan sungguh-sungguh. Sehingga khotbahnya semakin lama semakin
berbobot. Ia akan mengkhotbahkan Firman yang murni dari Alkitab dan akan
menuntun jemaat kepada jalan yang lurus, karena ia mengikuti Sang Guru Agung,
Yesus Kristus Tuhan kita.
Jadi, jika ada para pengkhotbah yang membaca artikel ini masih
menggunakan istilah sembarangan dan melakukan vickynisasi dan
tidak sadar sedang memperbodoh jemaat, saya ingin menyampaikan satu kata.
Bertobatlah.
TED
LV, 19092013
[i] http://edukasi.kompas.com/read/2013/09/17/1505377/Sebelum.Kita.Ber..Vickynisasi.
[ii] http://en.wikipedia.org/wiki/Charles_Spurgeon
[iii]
http://en.wikipedia.org/wiki/Stephen_Tong
[iv]
http://en.wikipedia.org/wiki/Billy_graham
[v] http://digitalcommons.unl.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1053&context=etas